Minggu, 14 Oktober 2012

KEBIJAKAN MORATORIUM PEMBEBASAN BERSYARAT TERPIDANA KASUS KORUPSI DIPANDANG DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

(Disampaikan dalam Siaran Radio Slang BKBH FH UMS 5 November 2011)

Oleh: Sri Wahyuni, S.H.

Beberapa hari yang lalu, muncul fenomena baru dalam penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia. Keputusan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, yang menghentikan sementara pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi mengakibatkan Paskah Suzetta, terpidana perkara korupsi pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, kemarin batal menghirup udara bebas kerena kebijakan itu. Kebijakan tersebut membawa banyak perdebatan yang menarik. Ada pihak yang mendukung dan sangat setuju dengan keputusan tersebut, ada juga yang menentang dengan keras.
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambung-an sebagaimana tercantum dalam United Nations Convention Againts Corruption atau UNCAC 2003, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga dalam penegakannya pun memerlukan langkah-langkah yang extra ordinary pula.
Akan tetapi, masyarakat merasa tidak puas dengan penegakan tindak pidana korupsi di Indonesia melihat penjatuhan pidana kepada koruptor yang jauh dari harapan. Untuk itu, demi keadilan anti korupsi, Menteri Hukum dan HAM menetapkan kebijakan moratorium pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat harus kita bedakan dengan remisi, pembebasan bersyarat adalah pembebasan dengan persyaratan tertentu sedangkan remisi adalah pengurangan masa pidana.
Pembebasan bersyarat merupakan salah satu hak terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Hak terpidana tersebut merupakan salah satu hak asasi terpidana. Akan tetapi, memang tanpa adanya kebijakan ini pun, pembebasan bersyarat tidak mutlak pasti diberikan. Jadi, hak ini adalah hak yang terbatas.
Persyaratan untuk bisa memperoleh pembebasan bersyarat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 43 ayat 4 disebutkan bahwa bagi terpidana kasus terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan pembebasan bersyarat oleh menteri apabila telah memenuhi tiga persyaratan. Ketiga persyaratan itu adalah telah menjalani 2/3 masa pidana dengan ketentuan tidak kurang dari sembilan bulan, berkelakuan baik selama menjalani masa pidana selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana, dan telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Dalam ayat lima Peraturan Pemerintah itu juga dijelaskan bahwa yang dimaksud pertimbangan pada ayat 4 wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat adalah hak mutlak yang harus diberikan. 
Kebijakan moratorium pembebasan bersyarat yang hanya berlaku untuk terpidana korupsi memang merupakan tindakan yang diskriminatif. Akan tetapi, ini adalah diskriminasi positif (affirmative action) yang merupakan salah satu prinsip HAM dimana tindakan ini dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun, memang ada orang yang akan merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut. Koruptor pasti menolak karena tidak mendapat pembebasan bersyarat. Tetapi kalau koruptor dibebaskan bersyarat, nanti para aktivis LSM, para demonstran tidak suka bahkan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semangat penegakan tindak pidana korupsi secara extra ordinary  memang harus dibedakan untuk memenuhi prinsip anti diskriminasi. Terpidana kasus korupsi dengan terpidana kasus lain memang berbeda, dengan kondisi yang berbeda tersebut maka harus ada tindakan affirmative agar bisa setara dan memenuhi rasa keadilan.
Dalam pandangan critical legal study, hukum tidak pernah steril dari intervensi politik. Menolak moratorium adalah bagian dari intervensi politik, maka sah juga moratorium memakai intervensi politik yaitu intervensi untuk keadilan masyarakat.
Moratorium ini adalah suatu tindakan yang bersifat sementara, artinya sampai hakim dan sistem hukum dapat menjatuhkan hukuman berat dan setimpal bagi koruptor maka kebijakan ini tidak berlaku lagi. Meskipun pembebasan bersyarat sudah ada pembatasannya namun moratorium ini dilakukan tidak lain adalah untuk memperjuangkan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan ya


[1] Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, pengampu mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia.

1 komentar:

  1. Kepada presiden sby dan menterinya Hukum dan Ham Amir Samsudin ,kasus tipikor itu banyak yg di zolimi,bukan murni tipikor, masa cuman ttd surat2 aja dan tdk menikmati uang tapi diputus bersalah,warga asing aja dpt PB, apalagi warga indonesia,,lagian pp 99 dan uu kan lebih tinggi uu,,pp 99 itu harus di cabut,karna sudah melanggar HAAMMMMM

    BalasHapus