(Disampaikan dalam Siaran Radio Slang BKBH FH UMS 5 November 2011)
Oleh: Sri Wahyuni, S.H.
Beberapa
hari yang lalu, muncul fenomena baru dalam penegakan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Keputusan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, yang menghentikan
sementara pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi mengakibatkan
Paskah Suzetta, terpidana perkara korupsi pemilihan Deputi Gubernur Bank
Indonesia, kemarin batal menghirup udara bebas kerena kebijakan itu. Kebijakan
tersebut membawa banyak perdebatan yang menarik. Ada pihak yang mendukung dan
sangat setuju dengan keputusan tersebut, ada juga yang menentang dengan keras.
Tindak
pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung
tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan
stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang
bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan
langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis,
dan berkesinambung-an sebagaimana tercantum dalam United Nations Convention
Againts Corruption atau UNCAC 2003, yang diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2006. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tindak pidana korupsi
merupakan extra ordinary crimes sehingga dalam penegakannya pun
memerlukan langkah-langkah yang extra ordinary pula.
Akan
tetapi, masyarakat merasa tidak puas dengan penegakan tindak pidana korupsi di
Indonesia melihat penjatuhan pidana kepada koruptor yang jauh dari harapan.
Untuk itu, demi keadilan anti korupsi, Menteri Hukum dan HAM menetapkan
kebijakan moratorium pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat harus kita
bedakan dengan remisi, pembebasan bersyarat adalah pembebasan dengan
persyaratan tertentu sedangkan remisi adalah pengurangan masa pidana.
Pembebasan
bersyarat merupakan salah satu hak terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14
ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Hak terpidana tersebut merupakan
salah satu hak asasi terpidana. Akan tetapi, memang tanpa adanya kebijakan ini
pun, pembebasan bersyarat tidak mutlak pasti diberikan. Jadi, hak ini adalah
hak yang terbatas.
Persyaratan
untuk bisa memperoleh pembebasan bersyarat tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam
Pasal 43 ayat 4 disebutkan bahwa bagi terpidana kasus terorisme, narkotika dan
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
diberikan pembebasan bersyarat oleh menteri apabila telah memenuhi tiga
persyaratan. Ketiga persyaratan itu adalah telah menjalani 2/3 masa pidana
dengan ketentuan tidak kurang dari sembilan bulan, berkelakuan baik selama
menjalani masa pidana selama 9 bulan terakhir sebelum tanggal 2/3 masa pidana,
dan telah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Dalam
ayat lima Peraturan Pemerintah itu juga dijelaskan bahwa yang dimaksud
pertimbangan pada ayat 4 wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban
umum, dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, dalam peraturan tersebut tidak
menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat adalah hak mutlak yang harus
diberikan.
Kebijakan
moratorium pembebasan bersyarat yang hanya berlaku untuk terpidana korupsi
memang merupakan tindakan yang diskriminatif. Akan tetapi, ini adalah
diskriminasi positif (affirmative action) yang merupakan salah satu
prinsip HAM dimana tindakan ini dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Namun, memang ada orang yang akan merasa dirugikan dengan kebijakan
tersebut. Koruptor pasti menolak karena tidak mendapat pembebasan bersyarat. Tetapi
kalau koruptor dibebaskan bersyarat, nanti para aktivis LSM, para demonstran
tidak suka bahkan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semangat penegakan
tindak pidana korupsi secara extra ordinary memang harus dibedakan untuk memenuhi prinsip
anti diskriminasi. Terpidana kasus korupsi dengan terpidana kasus lain memang
berbeda, dengan kondisi yang berbeda tersebut maka harus ada tindakan affirmative
agar bisa setara dan memenuhi rasa keadilan.
Dalam
pandangan critical legal study, hukum tidak pernah steril dari
intervensi politik. Menolak moratorium adalah bagian dari intervensi politik,
maka sah juga moratorium memakai intervensi politik yaitu intervensi untuk
keadilan masyarakat.
Moratorium
ini adalah suatu tindakan yang bersifat sementara, artinya sampai hakim dan
sistem hukum dapat menjatuhkan hukuman berat dan setimpal bagi koruptor maka
kebijakan ini tidak berlaku lagi. Meskipun pembebasan bersyarat sudah ada
pembatasannya namun moratorium ini dilakukan tidak lain adalah untuk
memperjuangkan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka menciptakan
pemerintahan ya
Kepada presiden sby dan menterinya Hukum dan Ham Amir Samsudin ,kasus tipikor itu banyak yg di zolimi,bukan murni tipikor, masa cuman ttd surat2 aja dan tdk menikmati uang tapi diputus bersalah,warga asing aja dpt PB, apalagi warga indonesia,,lagian pp 99 dan uu kan lebih tinggi uu,,pp 99 itu harus di cabut,karna sudah melanggar HAAMMMMM
BalasHapus