Oleh: Sri Wahyuni
A.
Perbandingan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengandung
pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1.
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan
dikuasai oleh negara dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha;
2.
Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin,
yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing;
3.
Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan
pemerintah daerah;
4.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5.
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah
dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta
mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan; dan
6.
Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa
hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1.
Penguasaan bahan galian
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian diselenggarakan
oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis
nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan
kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik
Pemerintah Daerah serta pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.
Sedangkan
Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian
diselenggarakan oleh Pemerintah.
2.
Kewenangan Pengelolaan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa Pemerintah
Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan nasional, Pemerintah Provinsi
memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional sedangkan Kabupaten/Kota
memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal.
Sedangkan
Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan pengelolaan
bersifat nasional.
3.
Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Penggolongan
mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari mineral radioaktif, mineral
logam, mineral bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang
sebelumnya bahan galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital,
non strategis dan non vital.
4.
Perizinan
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat
(IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang
sebelumnya, perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat
Ijin Pertambangan Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
5.
Tata cara Perizinan
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perizinan
dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk
mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah.
Dalam Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan.
6.
Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pelaku
usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih
sejak berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca
tambang, kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik
pertambangan, kewajiban untuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat
data dan pelaporan, dan kewajiban untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil.
Sedangkan
dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait dengan
keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani,
lingkungan, kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan.
7.
Penggunaan Lahan
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan
pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi
produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan
pembatasan tanah yang dapat diusahakan.
8.
Pelaku Usaha
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan
radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-Undangsebelumnya
pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin Pertambangan daerah
(SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B).
9.
Jangka Waktu
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jangka
waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut:
a.
IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan
umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1
tahun);
b.
IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum
(1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun);
c.
IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun)
terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan (20 tahun).
Sedangkan
dalam Undang-Undang sebelumnya, KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum (1+1Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi
(3Tahun + 2 x 1 Tahun), KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1Tahun), KK/PKP2B
Konstruksi (3 Tahun), KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi
termasuk pengolahan dan pemurnian serta pemasaran (30 Tahun + 2 x 10
tahun).
10. Pengembangan
Wilayah dan Masyarakat
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pengembangan
wilayah dan masyarakat merupakan kewajiban keharusan yang dipenuhi oleh pemegang
IUP, sedangkan Undang-Undang sebelumnya tidak diatur.
11. Pembinaan
dan pengawasan
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pembinaan
dan pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh menteri, gubernur,
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan
tugas Bupati/walikota. Dalam Undang-Undang sebelumnya pembinaan dan pengawasan
sifatnya terpusat.
12. Penyidikan
Setelah
pada peraturan sebelumnya tidak diatur, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan penyidik polri dan PPNS.
13. Ketentuan
Pidana
Dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan
pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras.
Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3. Dalam
Undang-Undang sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana
/kurungan sangat lunak.
B.
Kelemahan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1.
Batasan luasan minimal
wilayah eksplorasi
Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP
Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000
(seratus ribu) hektare.
Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP
Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua
puluh lima ribu) hektare
Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan
diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5
(lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara
diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000
(lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar
Pembatasan luasan wilayah minimal
untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55
ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009
berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat
dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang
batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara
mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara. Di lapangan tim
menemukan bahwa ketentuan untuk luas wilayah minimal tidak memperhatikan
kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di tiap-tiap daerah di seluruh
wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah daerah Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah pertambangan dengan luasan di bawah 5000 hektar. Pembatasan
tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi
cadangan mineral menjadi tidak dapat
diusahakan. Selain menjadi hambatan bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah penghasil
tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha
pertambangan tersebut, sehingga
wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan adanya ketentuan
ini. Penetapan luasan minimum yang tidak memperhatikan karakteristik daerah
penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost
economy, yang menghalangi pelaku usaha tertentu.
2.
Kewajiban Divestasi Setelah
5 (Lima) Tahun Operasi Produksi
Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun
berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan
IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada
Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.
Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi
produksi sebagaimana tercantum pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga
termasuk kebijakan yang berpotensi
memberikan hambatan persaingan. Pencantuman divestasi saham hanya
berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang dive
stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena masingmasing jenis
usaha tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai Break Event
Point (BEP). Hal tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak
dicapai oleh pelaku usaha.
UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai
divestasi. Penyusunan mengenai
ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara matang untuk menghindari munculnya hambatan bagi pelaku usaha asing untuk menanamkan investasinya di
pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Keresahan yang muncul di sebagian
kalangan pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara, adalah ketidakjelasan dalam ketentuan divestasi akan mengakibatkan ketidakpastian
mereka dalam membuat keputusan melakukan investasi.
3.
Regulasi tidak bersifat
netral terhadap persaingan usaha
Suatu regulasi dapat bersifat
netral terhadap persaingan usaha apabila didasari dengan alasan-alasan yang dapat diterima untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Seperti
halnya UU Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan dari
paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa
kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai
kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah
produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk Wilayah Izin Usaha
pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal
dan/atau nasional; larangan menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan
wilayah maksimal operasi pertambangan.
4.
Kewenangan pemerintah untuk
menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi
Pasal 5 ayat (3) : ”Dalam melaksanakan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi”
Bagi pelaku usaha, kebijakan
penetapan besaran produksi tersebut dapat berakibat pada pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait dengan strategi perusahaan untuk
melakukan produksi dan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies
of scale dan economies of scope dari pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang sebenarnya potensial untuk mengembangkan
industri pertambangan mineral dan batubara.
Akan tetapi kebijakan ini menjadi
bersifat netral terhadap persaingan karena mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi
untuk kebutuhan dalam negeri.
5.
Prioritas
kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan
afiliasi
Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha
milik negara dan badan usaha milik dareah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan
BUMD tersebut menyebutkan bahwa untuk
mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan dengan cara priorotas atau lelang. Prioritas
diberikan lepada BUMN dan BUMD dengan
mekanisme first come forst serve. Apabila tidak ada yang berminat maka WIUPK tersebut akan ditawarkan
kepada badan usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara
lelang. Dari satu sisi, kebijakan prioritas
ini tidak memberikan kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan
pertambangan.
Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib
menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional
Pasal 124 Ayat (2) “ Dalam hal
tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbada hukum Indonesia.
Sebagian kalangan berpendapat
bahwa UU Minerba masih belum memberikan definisi yang jelas
tentang definisi dari perusahaan lokal dan/atau
nasional. Ketidakjelasan definisi tersebut dapat memberikan entry barrier bagi beberapa pelaku usaha yang sebenarnya mempunyai kompetensi
lebih baik.
Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP
atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan yang diusahakannya , kecuali dengan izin Menteri.
Pemberian izin Menteri dapat
dilakukan jika tidak terdapat perusahaan jasa pertmabangan
sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan yang berminat/mampu. Selama peraturan pelaksana untuk
larangan menggunakan perusahaan
afiliasi ini belum ada maka mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi
adalah hubungan di antara pihak dimana salah satu pihak secara langsung
atau tidak langsung mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah pengendalian
pihak lain. Pengecualian juga akan dilakukan
dengan syarat bahwa azas transparansi dan akuntabilitas serta fairness
diterapkan sehingga negara tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di daerah) tetap terbuka
lebar.
Kebijakan prioritas kepada BUMN
dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan
lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi di satu
sisi memberikan hambatan masuk kepada beberapa pelaku usaha ke dalam industri
pertambangan mineral dan batubara. Di sisi lain kebijakan tersebut dimaksudkan untuk
mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan
nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional.
6.
Batasan
Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan
Pasal 53
: Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh
lima ribu) hektare
Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi
produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan
luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi
produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling
banyak 1.000 (seribu) hektare
Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi
produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu)
hektare
Peraturan yang tidak menetapkan
batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk
diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan
tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli
lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah
satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin
manfaat pertambangan mineral dan batubara
secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan asas
yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral
dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.
C.
Kelebihan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan
kepastian hukum karena:
1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup sehingga
sudah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara lain dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah;
2.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan
kebijakan pertambangan umum. Di samping itu juga terdapat mekanisme pemberian
sanksi terhadap pelaku pelanggaran;
3.
Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti
Domestic Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah
divestasi, dan lain-lain;
4.
Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai
dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5.
Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai
dari kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.