Minggu, 14 Oktober 2012

KEANEKARAGAMAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi Mengenai Tipe Pluralisme Hukum di Indonesia)








Oleh: Sri Wahyuni & Yovi Wahyu JNH
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang 

 Pluralisme hukum, secara langsung maupun tidak, telah menjadi bagian dari suatu identitas politik lokal yang berperan dalam membangkitkan bekerjanya sistem sosial lokal.[1] Dalam area pluralisme hukum terdapat hukum negara di satu sisi dan di sisi lain adalah hukum rakyat (hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi sosial lain yang dipandang hukum).
Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan adanya pengakuan tersebut maka hukum yang berlaku di Indonesia beraneka ragam karena masyarakatnya yang juga beraneka ragam. Keanekaragaman hukum yang terjadi salah satunya adalah hukum pidana.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia secara nasional adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) yang mula-mula berasal dari Wetboek van Strafrecht yaitu hukum pidana negeri Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda. Kenyataan menunjukkan bagaimana budaya lokal yang asli akan selalu sulit menopang kelangsungan hidup suatu sistem asing yang ditransplantasikan padanya.[2] Oleh karena itu, walaupun KUHP berlaku secara nasional berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tetapi masih ada hukum rakyat yang berlaku termasuk dalam hukum pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hukum pidana yang berlaku di Indonesia untuk memperoleh gambaran mengenai tipe pluralisme hukum yang dianut di Indonesia dengan mengangkat judul “KEANEKARAGAMAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi Mengenai Tipe Pluralisme Hukum di Indonesia)”.
B.  Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Kemudian berpijak pada James Donovan, penulis akan memposisikan sistem hukum Indonesia berdasarkan pada teori Variant Structural Pluralisme.























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP berlaku secara nasional sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kemudian berdasarkan keberadaan asas Legalitas sebagaimana dikandung dalam Pasal 1 (1) KUHP misalnya merupakan “benteng yang sangat kuat” untuk menafikan keberadaan hukum pidana lain selain hukum pidana negara. Meski demikian, dalam sejarah perkembangan hukum pidana Indonesia, ada lebih dari satu sistem hukum pidana yang digunakan yaitu hukum pidana barat (Belanda) sesuai WvS dan Hukum Pidana Adat.
2.    Hukum Pidana Adat
Sebelum berlakunya Wetboek van Strafrecht tahun 1918, hukum pidana adat sepenuhnya berlakudi wilayah masyarakat hukum adat masing-masing. Pada masa itu oleh pemerintah Hindia Belanda dibiarkan untuk melaksanakan hukum pidana adatnya masing-masing. Setelah berlakunya Wetboek van Strafrecht tahun 1918, tidak lagi diakui hukum adat sebagai sumber hukum pidana Indonesia. Hal ini dikarenakan Pasal 1 Wetboek van Strafrecht menganut asas legalitas yang sangat tegas. [3]
Tidak diakuinya hukum adat sebagai salah satu sumber hukum pidana Indonesia itu berakhir setelah berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Melalui Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tersebut terdapat pengakuan kembali bahwa hukum yang hidup (hukum adat)  dapat menjadi sumber hukum pidana tertulis (Wetboek van Strafrecht) selama tidak ada padanannya/ kesamaan pengaturan dalam Wetboek van Strafrecht.
Sebagai konsekuensinya, maka dalam praktek peradilan akan terdapat perkara-perkara di Pengadilan Negeri di Indonesia dimana seseorang dinyatakan bertanggungjawab pidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam Wetboek van Strafrecht.
Perbuatan-perbuatan yang merupakan delik adat yang tidak  ada padanannya/ tidak termasuk tindak pidana menurut Wetboek van Strafrecht, misalnya:
a.    “zina” di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, delik adat “gemia gamana” pada suku Bali dan Lombok, dan delik “bero” di kalangan suku Sasak Lombok;
b.    Delik “logika sanggraha” di Bali.
Di Bali terdapat beberapa sumber hukum pidana adat yang tertulis. Berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana adat dibagi menjadi dua : tindak pidana adat yang dilakukan di tempat sudi (pura) dan tindak pidana adat di luar tempat suci. Proses penyelesaian tindak pidana adat di Bali ada yang diselesaikan melalui saluran formal yaitu melalui pengadilan (khususnya PN) dan saluran informal (diselesaikan melalui lembaga adat). Di Bali, tindak pidana adat yang terjadi sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan. Dasar hukum yang digunakan dalam penyelesaian di Pengadilan Negeri adalah KUHP atau Kitab Adi Agama juncto Pasal 5 (3) UU No. 1 Drt 1951. Sanksi adat yang dikenal, yaitu upacara pembersihan, denda, minta maaf, dibuang, tidak diajak bicara, diusir, dan sebagainya.
3.    Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam juga berlaku di Indonesia yaitu hukum pidana syariah yang berlaku di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).  Hal ini karena Aceh merupakan daerah otonomi khusus. Kekhususannya terkait dengan syariah Islam yang kuat.
Dengan berlakunya hukum pidana Islam di NAD tidak menyurutkan berlakunya hukum pidana nasional. Hukum pidana Islam yang berlaku di NAD baru sebagian kecil saja, yaitu: a) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam ; b) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamr/ minuman keras dan sejenisnya; c) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir / perjudian; d) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat; dan e) Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Hukuman cambuk antara lain telah diterapkan di Bireun, Kuala Simpang, Banda Aceh, dan Langsa.
Hukum pidana Islam itu hanya berlaku bagi masyarakat muslim (baik masyarakat NAD atau bukan) yang melakukan tindak pidana di NAD, sedang bagi non muslim tidak berlaku sama sekali, demikian juga masyarakat NAD yang melakukan tindak pidana di NAD. KUHP tidak diberlakukan bagi masyarakat muslim di NAD sepanjang telah diatur oleh qanun.


B.  Tipe Pluralisme Hukum yang Dianut oleh Indonesia
Menurut James Donovan, tipe struktur pluralisme hukum ada empat. Yang pertama yaitu legal centralisme dimana hukum yang berlaku adalah hukum negara yang berlaku sama bagi semua orang tanpa ada hukum lain yang berlaku dan ditegakkan oleh satu set institusi negara. Pendapat ini dibantah oleh Griffiths karena bentuk ini terlalu simple pada zaman yang telah berkembang seperti sekarang ini dengan melihat sekitar. Lebih lanjut dikatakan oleh Fuller bahwasannya setiap orang di dunia sekarang ini adalah subyek formal dari sistem hukum nasional, semuanya juga merupakan subyek dari hukum internasional. Artinya, di sini selalu ada minimal dua macam sistem hukum yang mengatur tindakan dari setiap individu, mencegah situasi dari penyimpangan terhadap pelaksanaan sistem hukum. pertanyaannya bukanlah pada apakah ini bisa dinamakan legal centralisme tetapi lebih pada bagaimana hal tersebut bisa diterima.
Yang kedua yaitu plural legal systems part are autonomous. Tipe ini merupakan peraturan simple dari sub sistem dimana di sekitarnya ada sistem-sistem lain tetapi penerapan secara otonomi dari keduanya maupun sistem yang lain. Secara teori, bisa dijelaskan konteks idealis masa kolonial, dimana penduduk lokal mempunyai hukumnya sendiri dan orang eropa juga mempunyai hukumnya sendiri. Dalam kondisi tersebut bisa dijelaskan bahwa berlakunya pergantian norma sebagai perpindahan antara kebiasaan dan aturan-aturan.
Yang ketiga yaitu plural legal system parts engaging in dialectical interconnectedness. Tipe yang ketiga ini pada umumnya lebih mempunyai hubungan antara beberapa sistem hukum yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Beberapa orang perseorangan secara serempak menempati beberapa identitas, peran dan status sosial, lain dengan sistem normatifnya sendiri. Daripada meninggalkan salah satu dan kemudian masuk ke yang lain, individu menginformasikan pilihannya ke dalam suatu aturan yang menjadi dasar nilai terdalam dari yang lainnya. Meskipun, sistem itu sendiri terisolasi dari sistem yang berlaku lebih luas, begitu sulit untuk mengatasi standar normatif dalam lingkup yang luas. Hal tersebut bisa menghasilkan kedua konvergen dan divergen sub sistem, sebagai beberapa nilai.
Dan yang terakhir yaitu plural legal system parts interconnected with modules. Interaksi sub sistem menjadi lebih kompleks jika masing-msing menunjukkan sebagai modul tersendiri, dengan demikian satu set norma untuk prosedur dan pembedaan substansi aturan. Suatu norma bisa mempengaruhi  norma di sekitarnya dengan sub sistem yang berbeda.
Berdasarkan pembahasan pertama dan dengan dilandaskan pada teori dari James Donovan tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa Indonesia menganut tipe pluralisme hukum yang keempat yaitu plural legal system parts interconnected with modules. Hal ini dikarenakan berdasarkan kajian penulis dalam aspek hukum pidana di Indonesia, ada 3 (tiga) sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum pidana nasional atau KUHP, sistem hukum pidana adat dan sistem hukum pidana Islam. Masing-masing sistem hukum mempunyai modules tersendiri. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut:
VIIVIVIVIIIIII

Dari bagan di atas terlihat bagaimana keberlakuan sistem hukum pidana nasional, hukum pidana adat dan hukum pidana Isalam di Indonesia. Nomor I menunjukkan berlakunya hukum pidana nasional atau KUHP yaitu yang modulnya berupa bagi seluruh subyek hukum pidana Indonesia dengan locus delicti di seluruh wilayah Indonesia baik darat, laut maupun udara. Nomor II menunjukkan berlakunya hukum pidana adat yaitu yang modulnya berupa bagi orang yang tunduk kepada hukum adat tersebut, orang luar hukum adat yang melakukan tindak pidana tersebut di wilayah adat, dan tindak pidananya merupakan tindak pidana yang diatur dengan hukum pidana adat tersebut.
Nomor III menunjukkan berlakunya hukum pidana Islam yaitu yang modulnya berupa tindak pidana yang diatur dalam Qanun, dilakukan oleh orang Islam yang menempati wilayah NAD. Nomor IV adalah perpaduan antara hukum pidana nasional dengan hukum pidana adat, modulnya yaitu bagi orang adat yang mana tindak pidana tersebut diatur dalam delik adat tetapi diselesaikan melalui jalur pengadilan. Nomor V adalah perpaduan antara hukum pidana nasional, hukum pidana adat dan hukum pidana Islam, modulnya bisa bermacam-macam sesuai dengan ketentuan masing-masing yang digabungkan dan kemudian disimpulkan, hal ini karena hukum pidana tersebut saling melengkapi.
Nomor VI adalah perpaduan antara KUHP dengan hukum pidana Islam. Perpaduan tersebut sesuai dengan modulnya sendiri yang merupakan gabungan dari sistem hukum pidana Islam yang hanya berlaku bagi orang Islam di NAD yang melakukan tindak pidana yang ada telah diatur dalam Qanun dengan KUHP yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dimanapun ia berada dan bagi warga negara asing yang berada di Indonesia yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Dalam perpaduan ini kedua hukum tersebut saling melengkapi. Bagi tindak pidana yang tidak diatur dalam Qanun tetapi dilakukan oleh orang Islam di NAD maka akan dikenai pasal dalam KUHP.
Nomor VII adalah perpaduan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana adat.perpaduan tersebut juga mempunyai modul tersendiri untuk bisa berlakunya perpaduan tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menarik kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah, yaitu dalam sistem hukum di Indonesia yakni dalam hukum pidana, berlaku 3 (tiga) sistem hukum. Sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem hukum pidana nasional (KUHP), sistem hukum pidana adat dan sistem hukum pidana Islam. Berlakunya ketiga sistem hukum tersebut didasari oleh modul-modul tersendiri dimana ketiganya saling melengkapi sehingga menimbulkan perpaduan-perpaduan yang didasari oleh modul tertentu. Oleh karena itu, tipe pluralisme hukum yang dianut oleh Indonesia berdasarkan kajian penulis yaitu plural legal system, parts interconnected with modules.


















DAFTAR PUSTAKA

James Donovan. Legal Anthropology.
Mohammad Jamin. 2004. Bahan Perkuliahan Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional. Surakarta.
R. Herlambang Perdana & Bernard Stenly. Gagasan Pluralisme Hukum dalam Gerakan Sosial.
Soetandyo Wignjosoebroto. 2008. Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah Suatu Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.
Soetandyo Wignjososebroto. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan HuMa


[1] Lihat R. Herlambang Perdana & Bernard Stenly dalam Gagasan Pluralisme Hukum dalam Gerakan Sosial. Halaman 1.
[2] Lihat Soetandyo Wignjosoebroto. 2008. Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah Suatu Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.
[3] Lihat Diktat Perkuliahan Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional. Mohammad Jamin. 2004. Halaman 85-86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar