Oleh: Sri Wahyuni & Yovi Wahyu JNH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pluralisme hukum, secara
langsung maupun tidak, telah menjadi bagian dari suatu identitas politik lokal
yang berperan dalam membangkitkan bekerjanya sistem sosial lokal.[1] Dalam area pluralisme hukum terdapat hukum negara di satu sisi dan
di sisi lain adalah hukum rakyat (hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan
atau konvensi sosial lain yang dipandang hukum).
Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
yang mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus dan istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan adanya pengakuan
tersebut maka hukum yang berlaku di Indonesia beraneka ragam karena masyarakatnya
yang juga beraneka ragam. Keanekaragaman hukum yang terjadi salah satunya
adalah hukum pidana.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia secara nasional
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) yang mula-mula berasal dari Wetboek
van Strafrecht yaitu hukum pidana negeri Belanda yang diberlakukan di
Hindia Belanda. Kenyataan menunjukkan bagaimana budaya lokal yang asli akan
selalu sulit menopang kelangsungan hidup suatu sistem asing yang
ditransplantasikan padanya.[2]
Oleh karena itu, walaupun KUHP berlaku secara nasional berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tetapi masih ada hukum rakyat yang berlaku
termasuk dalam hukum pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai hukum pidana yang berlaku di Indonesia untuk
memperoleh gambaran mengenai tipe pluralisme hukum yang dianut di Indonesia
dengan mengangkat judul “KEANEKARAGAMAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
(Studi Mengenai Tipe Pluralisme Hukum di Indonesia)”.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai hukum pidana yang
berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Kemudian berpijak pada James Donovan,
penulis akan memposisikan sistem hukum Indonesia berdasarkan pada teori Variant
Structural Pluralisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia sekarang ini adalah KUHP menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana. KUHP berlaku secara nasional sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Kemudian berdasarkan keberadaan asas Legalitas
sebagaimana dikandung dalam Pasal 1 (1) KUHP misalnya merupakan “benteng yang
sangat kuat” untuk menafikan keberadaan hukum pidana lain selain hukum pidana
negara. Meski demikian, dalam sejarah perkembangan hukum pidana Indonesia, ada
lebih dari satu sistem hukum pidana yang digunakan yaitu hukum pidana barat
(Belanda) sesuai WvS dan Hukum Pidana Adat.
2.
Hukum
Pidana Adat
Sebelum berlakunya Wetboek van Strafrecht tahun
1918, hukum pidana adat sepenuhnya berlakudi wilayah masyarakat hukum adat
masing-masing. Pada masa itu oleh pemerintah Hindia Belanda dibiarkan untuk
melaksanakan hukum pidana adatnya masing-masing. Setelah berlakunya Wetboek
van Strafrecht tahun 1918, tidak lagi diakui hukum adat sebagai sumber
hukum pidana Indonesia. Hal ini dikarenakan Pasal 1 Wetboek van Strafrecht menganut
asas legalitas yang sangat tegas. [3]
Tidak diakuinya hukum adat sebagai salah satu sumber
hukum pidana Indonesia itu berakhir setelah berlakunya Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951. Melalui Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951 tersebut terdapat pengakuan kembali bahwa hukum yang hidup (hukum
adat) dapat menjadi sumber hukum pidana
tertulis (Wetboek van Strafrecht) selama tidak ada padanannya/ kesamaan
pengaturan dalam Wetboek van Strafrecht.
Sebagai konsekuensinya, maka dalam praktek peradilan
akan terdapat perkara-perkara di Pengadilan Negeri di Indonesia dimana
seseorang dinyatakan bertanggungjawab pidana meskipun perbuatannya tidak diatur
dalam Wetboek van Strafrecht.
Perbuatan-perbuatan yang merupakan delik adat yang
tidak ada padanannya/ tidak termasuk
tindak pidana menurut Wetboek van Strafrecht, misalnya:
a.
“zina”
di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, delik adat “gemia gamana” pada suku
Bali dan Lombok, dan delik “bero” di kalangan suku Sasak Lombok;
b.
Delik
“logika sanggraha” di Bali.
Di
Bali terdapat beberapa sumber hukum pidana adat yang tertulis. Berdasarkan
tempat terjadinya tindak pidana adat dibagi menjadi dua : tindak pidana adat
yang dilakukan di tempat sudi (pura) dan tindak pidana adat di luar tempat
suci. Proses penyelesaian tindak pidana adat di Bali ada yang diselesaikan
melalui saluran formal yaitu melalui pengadilan (khususnya PN) dan saluran
informal (diselesaikan melalui lembaga adat). Di Bali, tindak pidana adat yang
terjadi sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan. Dasar hukum yang
digunakan dalam penyelesaian di Pengadilan Negeri adalah KUHP atau Kitab Adi
Agama juncto Pasal 5 (3) UU No. 1 Drt 1951. Sanksi adat yang dikenal,
yaitu upacara pembersihan, denda, minta maaf, dibuang, tidak diajak bicara,
diusir, dan sebagainya.
3.
Hukum
Pidana Islam
Hukum Pidana Islam juga berlaku di Indonesia yaitu hukum
pidana syariah yang berlaku di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini karena Aceh merupakan daerah otonomi
khusus. Kekhususannya terkait dengan syariah Islam yang kuat.
Dengan berlakunya hukum pidana Islam di NAD tidak
menyurutkan berlakunya hukum pidana nasional. Hukum pidana Islam yang berlaku
di NAD baru sebagian kecil saja, yaitu: a) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam ; b) Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamr/ minuman keras dan sejenisnya; c) Qanun
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir / perjudian; d) Qanun Nomor 14 Tahun 2003
tentang Khalwat; dan e) Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Hukuman cambuk antara lain
telah diterapkan di Bireun, Kuala Simpang, Banda Aceh, dan Langsa.
Hukum pidana Islam itu hanya berlaku bagi masyarakat
muslim (baik masyarakat NAD atau bukan) yang melakukan tindak pidana di NAD,
sedang bagi non muslim tidak berlaku sama sekali, demikian juga masyarakat NAD
yang melakukan tindak pidana di NAD. KUHP tidak diberlakukan bagi masyarakat
muslim di NAD sepanjang telah diatur oleh qanun.
B.
Tipe
Pluralisme Hukum yang Dianut oleh Indonesia
Menurut
James Donovan, tipe struktur pluralisme hukum ada empat. Yang pertama yaitu legal
centralisme dimana hukum yang berlaku adalah hukum negara yang berlaku sama
bagi semua orang tanpa ada hukum lain yang berlaku dan ditegakkan oleh satu set
institusi negara. Pendapat ini dibantah oleh Griffiths karena bentuk ini
terlalu simple pada zaman yang telah berkembang seperti sekarang ini dengan
melihat sekitar. Lebih lanjut dikatakan oleh Fuller bahwasannya setiap orang di
dunia sekarang ini adalah subyek formal dari sistem hukum nasional, semuanya
juga merupakan subyek dari hukum internasional. Artinya, di sini selalu ada
minimal dua macam sistem hukum yang mengatur tindakan dari setiap individu,
mencegah situasi dari penyimpangan terhadap pelaksanaan sistem hukum.
pertanyaannya bukanlah pada apakah ini bisa dinamakan legal centralisme tetapi
lebih pada bagaimana hal tersebut bisa diterima.
Yang
kedua yaitu plural legal systems part are autonomous. Tipe ini merupakan
peraturan simple dari sub sistem dimana di sekitarnya ada sistem-sistem lain
tetapi penerapan secara otonomi dari keduanya maupun sistem yang lain. Secara
teori, bisa dijelaskan konteks idealis masa kolonial, dimana penduduk lokal
mempunyai hukumnya sendiri dan orang eropa juga mempunyai hukumnya sendiri.
Dalam kondisi tersebut bisa dijelaskan bahwa berlakunya pergantian norma
sebagai perpindahan antara kebiasaan dan aturan-aturan.
Yang
ketiga yaitu plural legal system parts engaging in dialectical
interconnectedness. Tipe yang ketiga ini pada umumnya lebih mempunyai
hubungan antara beberapa sistem hukum yang berlaku dalam sebuah masyarakat.
Beberapa orang perseorangan secara serempak menempati beberapa identitas, peran
dan status sosial, lain dengan sistem normatifnya sendiri. Daripada
meninggalkan salah satu dan kemudian masuk ke yang lain, individu
menginformasikan pilihannya ke dalam suatu aturan yang menjadi dasar nilai
terdalam dari yang lainnya. Meskipun, sistem itu sendiri terisolasi dari sistem
yang berlaku lebih luas, begitu sulit untuk mengatasi standar normatif dalam
lingkup yang luas. Hal tersebut bisa menghasilkan kedua konvergen dan divergen
sub sistem, sebagai beberapa nilai.
Dan
yang terakhir yaitu plural legal system parts interconnected with modules. Interaksi
sub sistem menjadi lebih kompleks jika masing-msing menunjukkan sebagai modul
tersendiri, dengan demikian satu set norma untuk prosedur dan pembedaan
substansi aturan. Suatu norma bisa mempengaruhi
norma di sekitarnya dengan sub sistem yang berbeda.
Berdasarkan
pembahasan pertama dan dengan dilandaskan pada teori dari James Donovan
tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa Indonesia menganut tipe pluralisme
hukum yang keempat yaitu plural legal system parts interconnected with
modules. Hal ini dikarenakan berdasarkan kajian penulis dalam aspek hukum
pidana di Indonesia, ada 3 (tiga) sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia
yaitu sistem hukum pidana nasional atau KUHP, sistem hukum pidana adat dan
sistem hukum pidana Islam. Masing-masing sistem hukum mempunyai modules
tersendiri. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan melalui bagan sebagai
berikut:
Dari
bagan di atas terlihat bagaimana keberlakuan sistem hukum pidana nasional,
hukum pidana adat dan hukum pidana Isalam di Indonesia. Nomor I menunjukkan
berlakunya hukum pidana nasional atau KUHP yaitu yang modulnya berupa bagi
seluruh subyek hukum pidana Indonesia dengan locus delicti di seluruh
wilayah Indonesia baik darat, laut maupun udara. Nomor II menunjukkan
berlakunya hukum pidana adat yaitu yang modulnya berupa bagi orang yang tunduk
kepada hukum adat tersebut, orang luar hukum adat yang melakukan tindak pidana
tersebut di wilayah adat, dan tindak pidananya merupakan tindak pidana yang
diatur dengan hukum pidana adat tersebut.
Nomor
III menunjukkan berlakunya hukum pidana Islam yaitu yang modulnya berupa tindak
pidana yang diatur dalam Qanun, dilakukan oleh orang Islam yang menempati
wilayah NAD. Nomor IV adalah perpaduan antara hukum pidana nasional dengan
hukum pidana adat, modulnya yaitu bagi orang adat yang mana tindak pidana
tersebut diatur dalam delik adat tetapi diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Nomor V adalah perpaduan antara hukum pidana nasional, hukum pidana adat dan
hukum pidana Islam, modulnya bisa bermacam-macam sesuai dengan ketentuan
masing-masing yang digabungkan dan kemudian disimpulkan, hal ini karena hukum
pidana tersebut saling melengkapi.
Nomor
VI adalah perpaduan antara KUHP dengan hukum pidana Islam. Perpaduan tersebut
sesuai dengan modulnya sendiri yang merupakan gabungan dari sistem hukum pidana
Islam yang hanya berlaku bagi orang Islam di NAD yang melakukan tindak pidana
yang ada telah diatur dalam Qanun dengan KUHP yang berlaku bagi seluruh warga
negara Indonesia dimanapun ia berada dan bagi warga negara asing yang berada di
Indonesia yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Dalam perpaduan
ini kedua hukum tersebut saling melengkapi. Bagi tindak pidana yang tidak
diatur dalam Qanun tetapi dilakukan oleh orang Islam di NAD maka akan dikenai
pasal dalam KUHP.
Nomor
VII adalah perpaduan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana adat.perpaduan
tersebut juga mempunyai modul tersendiri untuk bisa berlakunya perpaduan
tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menarik
kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah, yaitu dalam sistem hukum di
Indonesia yakni dalam hukum pidana, berlaku 3 (tiga) sistem hukum. Sistem hukum
pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem hukum pidana nasional (KUHP),
sistem hukum pidana adat dan sistem hukum pidana Islam. Berlakunya ketiga
sistem hukum tersebut didasari oleh modul-modul tersendiri dimana ketiganya
saling melengkapi sehingga menimbulkan perpaduan-perpaduan yang didasari oleh
modul tertentu. Oleh karena itu, tipe pluralisme hukum yang dianut oleh
Indonesia berdasarkan kajian penulis yaitu plural legal system, parts
interconnected with modules.
DAFTAR PUSTAKA
James
Donovan. Legal Anthropology.
Mohammad
Jamin. 2004. Bahan Perkuliahan Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional. Surakarta.
R.
Herlambang Perdana & Bernard Stenly. Gagasan Pluralisme Hukum dalam
Gerakan Sosial.
Soetandyo
Wignjosoebroto. 2008. Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah Suatu
Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.
Soetandyo
Wignjososebroto. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta: Elsam dan HuMa
[1] Lihat R. Herlambang Perdana &
Bernard Stenly dalam Gagasan Pluralisme Hukum dalam Gerakan Sosial.
Halaman 1.
[2] Lihat Soetandyo Wignjosoebroto.
2008. Hukum dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah Suatu Pengantar ke
Arah Kajian Sosiologi Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.
[3]
Lihat Diktat
Perkuliahan Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional. Mohammad Jamin. 2004. Halaman
85-86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar