Minggu, 14 Oktober 2012

ANALISA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA



 Oleh: Sri Wahyuni

A.       Perbandingan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1.         Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha;
2.         Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing;
3.         Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah;
4.         Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5.         Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan; dan
6.         Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut:
1.         Penguasaan bahan galian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah Daerah serta pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian diselenggarakan oleh Pemerintah.
2.         Kewenangan Pengelolaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa Pemerintah Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan nasional, Pemerintah Provinsi memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional sedangkan Kabupaten/Kota memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal.
Sedangkan Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan pengelolaan bersifat nasional.
3.         Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Penggolongan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara  terdiri dari mineral radioaktif, mineral logam, mineral bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya bahan galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital, non strategis dan non vital.
4.         Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat Ijin Pertambangan Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
5.         Tata cara Perizinan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perizinan dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah. Dalam Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan.
6.         Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pelaku usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca tambang, kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik pertambangan, kewajiban untuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat data dan pelaporan, dan kewajiban untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil.
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait dengan keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani, lingkungan, kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan.
7.         Penggunaan Lahan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak. Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan pembatasan tanah yang dapat diusahakan.
8.         Pelaku Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-Undangsebelumnya pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin Pertambangan daerah (SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B).
9.         Jangka Waktu
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut:
a.         IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun);
b.        IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun);
c.         IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (20 tahun).
Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum (1+1Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3Tahun + 2 x 1 Tahun), KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1Tahun), KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun), KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi termasuk pengolahan dan pemurnian serta pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun).
10.    Pengembangan Wilayah dan Masyarakat
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pengembangan wilayah dan masyarakat merupakan kewajiban keharusan yang dipenuhi oleh pemegang IUP, sedangkan Undang-Undang sebelumnya tidak diatur.
11.    Pembinaan dan pengawasan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/walikota. Dalam Undang-Undang sebelumnya pembinaan dan pengawasan sifatnya terpusat.
12.    Penyidikan
Setelah pada peraturan sebelumnya tidak diatur, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan penyidik polri dan PPNS.

13.    Ketentuan Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras. Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3. Dalam Undang-Undang sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana /kurungan sangat lunak.

B.       Kelemahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1.         Batasan luasan minimal wilayah eksplorasi
Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar
Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara. Di lapangan tim menemukan bahwa ketentuan untuk luas wilayah minimal tidak memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah daerah Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah pertambangan dengan luasan di bawah 5000 hektar. Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, sehingga wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan adanya ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak memperhatikan karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy, yang menghalangi pelaku usaha tertentu.

2.         Kewajiban Divestasi Setelah 5 (Lima) Tahun Operasi Produksi
Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.
Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi sebagaimana tercantum pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga termasuk kebijakan yang berpotensi memberikan hambatan persaingan. Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang dive stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena masing­masing jenis usaha tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai Break Event Point (BEP). Hal tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai oleh pelaku usaha.
UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. Penyusunan mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara matang untuk menghindari munculnya hambatan bagi pelaku usaha asing untuk menanamkan investasinya di pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Keresahan yang muncul di sebagian kalangan pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara, adalah ketidakjelasan dalam ketentuan divestasi akan mengakibatkan ketidakpastian mereka dalam membuat keputusan melakukan investasi.

3.         Regulasi tidak bersifat netral terhadap persaingan usaha
Suatu regulasi dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha apabila didasari dengan alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai suatu tujuan bersama. Seperti halnya UU Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan dari paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan wilayah maksimal operasi pertambangan.

4.         Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi
Pasal 5 ayat (3) : ”Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi”
Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut dapat berakibat pada pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait dengan strategi perusahaan untuk melakukan produksi dan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of scope dari pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang sebenarnya potensial untuk mengembangkan industri pertambangan mineral dan batubara.
Akan tetapi kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan karena mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.

5.         Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi
Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik dareah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan BUMD tersebut menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan dengan cara priorotas atau lelang. Prioritas diberikan lepada BUMN dan BUMD dengan mekanisme first come forst serve. Apabila tidak ada yang berminat maka WIUPK tersebut akan ditawarkan kepada badan usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu sisi, kebijakan prioritas ini tidak memberikan kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan pertambangan.
Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional
Pasal 124 Ayat (2) “ Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbada hukum Indonesia.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa UU Minerba masih belum memberikan definisi yang jelas tentang definisi dari perusahaan lokal dan/atau nasional. Ketidakjelasan definisi tersebut dapat memberikan entry barrier bagi beberapa pelaku usaha yang sebenarnya mempunyai kompetensi lebih baik.
Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan yang diusahakannya , kecuali dengan izin Menteri.
Pemberian izin Menteri dapat dilakukan jika tidak terdapat perusahaan jasa pertmabangan sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan yang berminat/mampu. Selama peraturan pelaksana untuk larangan menggunakan perusahaan afiliasi ini belum ada maka mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi adalah hubungan di antara pihak dimana salah satu pihak secara langsung atau tidak langsung mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah pengendalian pihak lain. Pengecualian juga akan dilakukan dengan syarat bahwa azas transparansi dan akuntabilitas serta fairness diterapkan sehingga negara tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di daerah) tetap terbuka lebar.
Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi di satu sisi memberikan hambatan masuk kepada beberapa pelaku usaha ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Di sisi lain kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

6.         Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan
Pasal 53       : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare
Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare
Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang.

C.        Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan kepastian hukum karena:
1.         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup sehingga sudah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara lain dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah;
2.         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. Di samping itu juga terdapat mekanisme pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran;
3.         Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi, dan lain-lain;
4.         Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5.         Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.