Minggu, 14 Oktober 2012

DEMOKRASI


Oleh: Sri Wahyuni

A.       Pengertian Demokrasi
 
Istilah demokrasi berasal dari kata demos berarti rakyat, dan kratein berarti memerintah (kratia berarti pemerintahan). Pengertian kata demokrasi pada waktu sekarang kiranya sudah dikenal dan dimengerti oleh kebanyakan orang yang hidup pada abad XX ini, meskipun dalam pengertiannya yang sederhana. Apabila ditinjau tentang penerapan dan pelaksanaannya, paham demokrasi, memang berbeda-beda di negara yang satu dengan negara yang lainnya, baik isi maupun kadarnya.[1]
Menurut Deliar Noer, sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD dituliskan: “Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat”.[2] Dengan demikian dalam negara yang menganut paham demokrasi, maka dalam pemerintahan negara melibatkan partisipasi rakyat dalam arti penyelenggaraan pemerintahan negara dilandaskan pada kehendak atau kemauan rakyat. Rakyat di sini bukan penjumlahan individu-individu belaka, melainkan rakyat sebagai satu kesatuan kehendak (volonte generale) atas kesadaran kolektif individu sebagai pemilik tunggal demokrasi dalam negara. Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan pengertian dari Henry B Mayo sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, memberikan pengertian demokrasi sebagai berikut: “A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatifs subject to effective popular control at periodic election which are conducted on the principal of political equality and under conditions of political freedom.” Sistem politik demokratis adalah suatu sistem politik dimana kebijakan umum ditentukan berdasarkan mayoritas suara, oleh perwakilan rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam suatu pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip persamaan politik dan dalam suasana yang mendukung kebebasan politik.[3]
Menurut Henry B Mayo, berkaitan dengan demokrasi ini, bahwa demokrasi itu sendiri merupakan suatu nilai (value) di antara berbagai nilai yang terkandung di dalam keseluruhan budaya manusia. Dalam hal ini demokrasi didasari oleh beberapa nilai, yaitu:[4]
1.          Menyelesaikan pertentangan-pertentangan secara damai yang dilembagakan (institutionalized peaceful settlement of conflict);
2.         Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai di dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in changing society);
3.          Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers);
4.         Membatasi penggunaan kekerasan sampai batas minimum (minimum of coercion);
5.         Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman pendapat (diversity) dalam masyarakat;
6.         Menjamin tegaknya keadilan.
Selanjutnya oleh B. Mayo, untuk merealisasikan nilai-nilai demokrasi tersebut, maka perlu diselenggarakan beberapa lembaga pendukung, antara lain :[5]
1.          Pemerintahan yang bertanggung jawab;
2.         Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi;
3.          Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik;
4.         Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat;
5.         Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

B.        Perkembangan Konsep Demokrasi
Beberapa tipe demokrasi yang berkembang di negara-negara di dunia, antara lain:[6]
1.          Demokrasi Langsung (Direct Democracy)
Demokrasi langsung (direct democracy) berkembang pada abad VI hingga abad III SM di Yunani dengan konsep negara-kota (city-state) pada waktu itu, yaitu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu negara kota). Lagipula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku.
2.         Demokrasi Konstitusional
Gagasan demokrasi Yunani dapat dikatakan lenyap dari muka dunia Barat pada waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak mengenal budaya Yunani, dikalahkan oleh suku-suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan atau “middle age” (abad VI hingga abad XIV). Masyarakat abad pertengahan ini bercirikan memiliki struktur sosial yang feudal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain.[7]
Kondisi sosial pada waktu itu diinspirasi oleh ajaran-ajaran dari aliran kedaulatan Tuhan yang mulai berkembang jauh sebelum abad VI. Dari sini timbul raja-raja yang sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya oleh karena kehendak raja diidentikkan sebagai kehendak Tuhan (yang harus ditaati oleh semua rakyat).  Monarkhi absolut yang telah muncul pada abad XV hingga XVII menjalankan kekuasaan atas prinsip “Devine Right of Kings” (Hak Suci Raja). Raja-raja yang terkenal pada waktu itu misalnya adalah Isabella dan Ferdinand (Spanyol), di Perancis raja-raja Bourbon dan sebagainya. Pendobrakan atas kekuasaan absolut raja-raja tersebut – sebagai buah pikiran dari ajaran rasionalisme yang muncul pada masa “Aufklarung” – dikenal dengan istilah “social contract” (kontrak sosial) dimana salah satu asas dari gagasan kontrak sosial adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal bagi setiap individu, apakah ia raja, bangsawan atau rakyat jelata.
3.     Demokrasi Konstitusional Abad XIX (Negara Hukum Klasik)
Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politiknya secara efektif, maka timbullah gagasan untuk membatasi kekuasaan penguasa (raja) dengan suatu konstitusi sebagai jalan terbaik, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tidak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang dasar itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme (Constitutionalism), sedangkan negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional State atau Rechtsstaat.[8]
Menurut Walton H. Hamilton, seperti dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, memberikan pengertian konstitusionalisme sebagai berikut: “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to keep government in order.”.[9] Di dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga kenegaraan (seperti antara eksekutif, legislatif, yudikatif ) atau dengan perkataan lain yang hanya merupakan “anatomy of a power of relationship”, yang dapat berubah atau diganti sewaktu-waktu kalau power relationship itu berubah. Undang-undang dasar dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil: “government by laws, not by men”.[10]
4.    Demokrasi Konstitusional Abad XX (Negara Hukum Modern)
Schumpeter, sebagaimana dikutip oleh Aidul Fitriciada Azhari, mendeskripsikan secara singkat mengenai model demokrasi konstitusional sebagai berikut: “The role of the people is to produce a government …the democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote.” Rakyat berperan sebagai pemrakarsa pemerintahan, model pemerintahan yang demokratis adalah bilamana institusi politik dalam membuat kebijakan politik mendayagunakan kekuatan atau kekuasaan melalui suatu persaingan kompetitif atas perolehan suara rakyat.[11]
International Commission of Jurist, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo, dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep negara hukum (rule of law)  dan menekankan apa yang dinamakan “the dynamic aspects of the rule of law in the modern age” (segi-segi dinamika negara hukum dalam abad modern). Dianggap bahwa disamping hak-hak politik, hak-hak sosial dan ekonomi juga harus diakui dan dipelihara oleh negara. Tentunya pemberlakuannya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip “rule of law” sebagaimana mestinya. Syarat-syarat terselenggaranya pemerintahan yang demokratis menurut International Commission of Jurist adalah :[12]
a)        Perlindungan konstitusionil, yaitu konstitusi harus memuat jaminan terhadap hak-hak individu, dan bukan itu saja, melainkan cara-cara atau prosedur yang jelas mengenai bagaimana individu dapat memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut;
b)       Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals), yaitu mengenai badan peradilan yang netral, bebas dari tekanan pihak manapun dalam memeriksa dan mengadili perkara, serta tidak terikat oleh kekuasaan badan kenegaraan lainnya dalam hal apapun termasuk dalam hal gaji seorang hakim;
c)        Pemilihan umum yang bebas;
d)       Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e)        Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f)         Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
International Commission of Jurist, sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo pula memberikan pemahaman bahwa sistem politik yang demokratis adalah “A form of government where the citizens exercise the same right, this is the right to make political decisions, but trough representatives choosen by them and responsible to them trough the process of free elections.” Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.[13]
C.       Penafsiran Konsep Demokrasi di Beberapa Negara
Salah satu penyelidikan yang telah dilakukan oleh Montesquieu mengenai hubungan antara manusia dan kekuasaan, sebagaimana dikutip oleh Soehino, adalah sebagai berikut :[14]
1.          Bahwa tiap-tiap orang menyukai kekuasaan, terlebih bilamana kekuasaan itu dipergunakan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya;
2.         Bahwa sekali seseorang memiliki kekuasaan, ia senantiasa ingin memperluas serta memperbesar kekuasaannya tersebut.
Selanjutnya oleh Montesquieu, setelah penelitian yang dilakukannya di Inggris, ia mendapati bahwa Inggris telah menghindarkan pemusatan kekuasaan pada satu organ atau badan kenegaraan, demikian menurut beliau harus ditemukan suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan yang ada pada negara dipisah-pisahkan dan masing-masing kekuasaan itu diberikan pada satu organ atau badan kenegaraan, dimana masing-masing organ atau badan tersebut terpisah pula satu sama lain. Kekuasaan sebagaimana dimaksud oleh Montesquieu kemudian didistribusikan kepada organ-organ atau badan-badan yang berbeda kekuasaan, tugas dan fungsinya. Organ atau badan sebagaimana dimaksud beserta kekuasaannya adalah sebagai berikut :[15]
1.          Badan legislatif, memiliki kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, oleh karenanya memegang kekuasaan membentuk peraturan atau perundang-undangan;
2.         Badan eksekutif, memiliki kekuasaan yang bersifat pelaksanaan, jadi kekuasaannya adalah untuk melaksanakan peraturan tersebut;
3.          Badan yudikatif, memiliki kekuasaan yang bersifat pengawasan. Badan yudikatif berkuasa untuk mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Pemikiran pemisahan kekuasaan ini bukan selanjutnya membatasi antara badan yang satu dan yang lainnya terpisah sama sekali dan tidak mungkin terjalin hubungan. Maksud dari Montesquieu adalah mencegah satu badan yang telah memegang suatu jenis kekuasaan memegang pula kekuasaan lainnya. Dengan penafsiran demikian kiranya Montesquieu tidak menolak bilamana suatu organ dapat melakukan pengawasan terhadap organ lainnya dalam melaksanakan kekuasaannya.
Ajaran Trias politica yang dikembangkan oleh Montesquieu, dalam praktek bernegara, ditemukan perbedaan mengenai penafsirannya. Menurut Soehino penafsiran terhadap ajaran Trias politica dalam beberapa negara adalah sebagai berikut :[16]
1.          Amerika Serikat, penafsiran ajaran pemisahan kekuasaan Montesquieu dimengerti sebagai suatu ajaran pemisahan kekuasaan mutlak atau murni, sehingga dalam praktek kenegaraan tidak dimungkinkan hubungan antar badan pemegang kekuasaan. Tiap-tiap badan terpisah satu sama lain dalam melaksanakan kekuasaannya dan tidak terdapat mekanisme pertanggung jawaban tugas antar badan. Dari sini muncul apa yang disebut dengan sistem presidensil;
2.         Inggris, menurut negarawan Inggris, pemisahan kekuasaan yang dikehendaki oleh Montesquieu adalah pemisahan yang menghendaki adanya hubungan timbale balik antar badan pemegang kekuasaan, terutama antara badan eksekutif dan legislatif. Dari sini kemudian muncul apa yang disebut dengan sistem parlementer;
3.          Swiss, negara ini memberikan penafsiran yang berlainan lagi terhadap ajaran pemisahan kekuasaan Montesquieu dimana ditafsirkan bahwa badan eksekutif itu hanya merupakan badan pelaksana saja dari apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Sistem pemerintahan yang diterapkan di Swiss ini disebut sistem referendum atau tepatnya sistem badan pekerja.
Berdasarkan hubungan antar organ atau badan pemegang kekuasaan, sebagaimana telah dibahas di atas, didapatkan 3 macam sistem pemerintahan dalam negara, yaitu: negara dengan sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan sistem pemerintahan referendum atau badan pekerja, maka bilamana dihubungkan dengan demokrasi modern, akan didapatkan tipe dari demokrasi itu sendiri, yakni :[17]
1.          Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang murni atau tegas, atau sistem presidensil;
2.         Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang tetap memungkinkan terjalinnya hubungan timbale balik antar badan pemegang kekuasaan. Antar badan pemegang kekuasaan dapat saling mempengaruhi, disebut sistem parlementer;
3.          Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang menghendaki adanya kontrol atau pengawasan langsung oleh rakyat, disebut sistem referendum.











DAFTAR PUSTAKA

Aidul Fitriciada Azhari. 2005. Menemukan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Tatanegara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Miriam Budiardjo. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
S. Toto Pandoyo. 1992. Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi. Yogyakarta: Liberty.


[1]  Lihat S. Toto Pandoyo. 1992. Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi. Yogyakarta: Liberty. Hal 6.
[2] Lihat Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal 19.

[3] Ibid.
[4] Op.cit. hal 46.
[5] Op.cit. hal 48.
[6] Lihat Miriam Budiardjo. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 53-60.
[7] Ibid. Hal 54.
[8] Ibid. Hal 56.
[9] Lihat Walton H. Hamilton dalam Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Tatanegara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press. Hal 16.

[10] Ibid. Hal 20.
[11] Lihat Aidul Fitriciada Azhari. 2005. Menemukan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Hal 71.
[12] Op.cit. Miriam Budiarjo. Hal 61.
[13] Ibid.
[14] Lihat Soehino. 2000. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal 241.
[15] Ibid.
[16] Ibid. Hal 242.
[17] Ibid. Hal 243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar