Oleh: Sri Wahyuni
A. Pengertian
Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari kata demos
berarti rakyat, dan kratein berarti memerintah (kratia berarti
pemerintahan). Pengertian kata demokrasi pada waktu sekarang kiranya sudah
dikenal dan dimengerti oleh kebanyakan orang yang hidup pada abad XX ini,
meskipun dalam pengertiannya yang sederhana. Apabila ditinjau tentang penerapan
dan pelaksanaannya, paham demokrasi, memang berbeda-beda di negara yang satu
dengan negara yang lainnya, baik isi maupun kadarnya.[1]
Menurut
Deliar Noer, sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD dituliskan: “Demokrasi sebagai
dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya,
termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut
menentukan kehidupan rakyat”.[2] Dengan demikian
dalam negara yang menganut paham demokrasi, maka dalam pemerintahan negara
melibatkan partisipasi rakyat dalam arti penyelenggaraan pemerintahan negara
dilandaskan pada kehendak atau kemauan rakyat. Rakyat di sini bukan penjumlahan
individu-individu belaka, melainkan rakyat sebagai satu kesatuan kehendak (volonte
generale) atas kesadaran kolektif individu sebagai pemilik tunggal demokrasi
dalam negara. Dalam kaitan ini patut pula dikemukakan pengertian dari Henry B
Mayo sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, memberikan pengertian demokrasi
sebagai berikut: “A democratic political system is one in which public
policies are made on a majority basis, by representatifs subject to effective
popular control at periodic election which are conducted on the principal of
political equality and under conditions of political freedom.” Sistem
politik demokratis adalah suatu sistem politik dimana kebijakan umum ditentukan
berdasarkan mayoritas suara, oleh perwakilan rakyat yang diawasi secara efektif
oleh rakyat dalam suatu pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
persamaan politik dan dalam suasana yang mendukung kebebasan politik.[3]
Menurut
Henry B Mayo, berkaitan dengan demokrasi ini, bahwa demokrasi itu sendiri
merupakan suatu nilai (value) di antara berbagai nilai yang terkandung
di dalam keseluruhan budaya manusia. Dalam hal ini demokrasi didasari
oleh beberapa nilai, yaitu:[4]
1.
Menyelesaikan pertentangan-pertentangan
secara damai yang dilembagakan (institutionalized peaceful settlement of
conflict);
2.
Menjamin terselenggaranya perubahan
secara damai di dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change
in changing society);
3.
Menyelenggarakan pergantian pimpinan
secara teratur (orderly succession of rulers);
4.
Membatasi penggunaan kekerasan
sampai batas minimum (minimum of coercion);
5.
Mengakui serta menganggap wajar
adanya keanekaragaman pendapat (diversity) dalam masyarakat;
6.
Menjamin tegaknya keadilan.
Selanjutnya
oleh B. Mayo, untuk merealisasikan nilai-nilai demokrasi tersebut, maka perlu
diselenggarakan beberapa lembaga pendukung, antara lain :[5]
1.
Pemerintahan yang bertanggung jawab;
2.
Suatu dewan perwakilan rakyat yang
mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan
yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar
sekurang-kurangnya dua calon untuk setiap kursi;
3.
Suatu organisasi politik yang
mencakup satu atau lebih partai politik;
4.
Pers dan media massa yang bebas
untuk menyatakan pendapat;
5.
Sistem peradilan yang bebas untuk
menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.
B.
Perkembangan Konsep Demokrasi
Beberapa tipe
demokrasi yang berkembang di negara-negara di dunia, antara lain:[6]
1.
Demokrasi Langsung (Direct
Democracy)
Demokrasi langsung (direct
democracy) berkembang pada abad VI hingga abad III SM di Yunani dengan
konsep negara-kota (city-state) pada waktu itu, yaitu bentuk
pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur
mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara
efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas
(negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit
(300.000 penduduk dalam satu negara kota). Lagipula, ketentuan-ketentuan
demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan
bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian
dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku.
2.
Demokrasi Konstitusional
Gagasan demokrasi Yunani dapat
dikatakan lenyap dari muka dunia Barat pada waktu bangsa Romawi, yang sedikit
banyak mengenal budaya Yunani, dikalahkan oleh suku-suku bangsa Eropa Barat dan
benua Eropa memasuki abad pertengahan atau “middle age” (abad VI hingga
abad XIV). Masyarakat abad pertengahan ini bercirikan memiliki struktur sosial
yang feudal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan
sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya,
yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para
bangsawan satu sama lain.[7]
Kondisi sosial pada waktu itu
diinspirasi oleh ajaran-ajaran dari aliran kedaulatan Tuhan yang mulai
berkembang jauh sebelum abad VI. Dari sini timbul raja-raja yang
sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya oleh karena kehendak raja
diidentikkan sebagai kehendak Tuhan (yang harus ditaati oleh semua rakyat). Monarkhi absolut yang telah muncul pada abad
XV hingga XVII menjalankan kekuasaan atas prinsip “Devine Right of Kings”
(Hak Suci Raja). Raja-raja yang terkenal pada waktu itu misalnya adalah
Isabella dan Ferdinand (Spanyol), di Perancis raja-raja Bourbon dan sebagainya.
Pendobrakan atas kekuasaan absolut raja-raja tersebut – sebagai buah pikiran
dari ajaran rasionalisme yang muncul pada masa “Aufklarung” – dikenal
dengan istilah “social contract” (kontrak sosial) dimana salah satu asas
dari gagasan kontrak sosial adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum alam (nature)
yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal bagi setiap individu,
apakah ia raja, bangsawan atau rakyat jelata.
3.
Demokrasi Konstitusional Abad XIX
(Negara Hukum Klasik)
Sebagai akibat dari keinginan untuk
menyelenggarakan hak-hak politiknya secara efektif, maka timbullah gagasan
untuk membatasi kekuasaan penguasa (raja) dengan suatu konstitusi sebagai jalan
terbaik, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tidak
bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang dasar itu
menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara
sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen
dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme (Constitutionalism),
sedangkan negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional State
atau Rechtsstaat.[8]
Menurut Walton H. Hamilton, seperti
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, memberikan pengertian konstitusionalisme
sebagai berikut: “Constitutionalism is the name given to the trust which men
repose in the power of word engrossed on parchment to keep government in
order.”.[9]
Di dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi atau undang-undang dasar tidak
hanya merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan di antara
lembaga-lembaga kenegaraan (seperti antara eksekutif, legislatif, yudikatif )
atau dengan perkataan lain yang hanya merupakan “anatomy of a power of
relationship”, yang dapat berubah atau diganti sewaktu-waktu kalau power
relationship itu berubah. Undang-undang dasar dianggap sebagai perwujudan
dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil: “government by laws, not by men”.[10]
4.
Demokrasi Konstitusional Abad XX
(Negara Hukum Modern)
Schumpeter, sebagaimana dikutip oleh
Aidul Fitriciada Azhari, mendeskripsikan secara singkat mengenai model
demokrasi konstitusional sebagai berikut: “The role of the people is to
produce a government …the democratic method is that institutional arrangement
for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to
decide by means of a competitive struggle for the people’s vote.” Rakyat
berperan sebagai pemrakarsa pemerintahan, model pemerintahan yang demokratis
adalah bilamana institusi politik dalam membuat kebijakan politik
mendayagunakan kekuatan atau kekuasaan melalui suatu persaingan kompetitif atas
perolehan suara rakyat.[11]
International Commission of Jurist, sebagaimana
dikutip oleh Miriam Budiardjo, dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965
memperluas konsep negara hukum (rule of law) dan menekankan apa yang dinamakan “the
dynamic aspects of the rule of law in the modern age” (segi-segi dinamika
negara hukum dalam abad modern). Dianggap bahwa disamping hak-hak politik, hak-hak
sosial dan ekonomi juga harus diakui dan dipelihara oleh negara. Tentunya
pemberlakuannya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip “rule
of law” sebagaimana mestinya. Syarat-syarat terselenggaranya pemerintahan
yang demokratis menurut International Commission of Jurist adalah :[12]
a)
Perlindungan konstitusionil, yaitu
konstitusi harus memuat jaminan terhadap hak-hak individu, dan bukan itu saja,
melainkan cara-cara atau prosedur yang jelas mengenai bagaimana individu dapat
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin tersebut;
b) Badan kehakiman
yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals),
yaitu mengenai badan peradilan yang netral, bebas dari tekanan pihak manapun
dalam memeriksa dan mengadili perkara, serta tidak terikat oleh kekuasaan badan
kenegaraan lainnya dalam hal apapun termasuk dalam hal gaji seorang hakim;
c)
Pemilihan umum yang bebas;
d) Kebebasan untuk
menyatakan pendapat;
e)
Kebebasan untuk
berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f)
Pendidikan kewarganegaraan (civic
education).
International Commission of Jurist, sebagaimana
dikutip oleh Miriam Budiardjo pula memberikan pemahaman bahwa sistem politik
yang demokratis adalah “A form of government where the citizens exercise the
same right, this is the right to make political decisions, but trough
representatives choosen by them and responsible to them trough the process of
free elections.” Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil
yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu
proses pemilihan yang bebas.[13]
C. Penafsiran
Konsep Demokrasi di Beberapa Negara
Salah satu
penyelidikan yang telah dilakukan oleh Montesquieu mengenai hubungan antara
manusia dan kekuasaan, sebagaimana dikutip oleh Soehino, adalah sebagai berikut
:[14]
1.
Bahwa tiap-tiap orang menyukai
kekuasaan, terlebih bilamana kekuasaan itu dipergunakan untuk mewujudkan
kepentingan pribadinya;
2.
Bahwa sekali seseorang memiliki
kekuasaan, ia senantiasa ingin memperluas serta memperbesar kekuasaannya
tersebut.
Selanjutnya oleh Montesquieu, setelah penelitian yang dilakukannya di
Inggris, ia mendapati bahwa Inggris telah menghindarkan pemusatan kekuasaan
pada satu organ atau badan kenegaraan, demikian menurut beliau harus ditemukan
suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan yang ada pada negara
dipisah-pisahkan dan masing-masing kekuasaan itu diberikan pada satu organ atau
badan kenegaraan, dimana masing-masing organ atau badan tersebut terpisah pula
satu sama lain. Kekuasaan sebagaimana dimaksud oleh Montesquieu kemudian
didistribusikan kepada organ-organ atau badan-badan yang berbeda kekuasaan,
tugas dan fungsinya. Organ atau badan sebagaimana dimaksud beserta kekuasaannya
adalah sebagai berikut :[15]
1.
Badan legislatif, memiliki kekuasaan
yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, oleh karenanya memegang
kekuasaan membentuk peraturan atau perundang-undangan;
2.
Badan eksekutif, memiliki kekuasaan
yang bersifat pelaksanaan, jadi kekuasaannya adalah untuk melaksanakan
peraturan tersebut;
3.
Badan yudikatif, memiliki kekuasaan
yang bersifat pengawasan. Badan yudikatif berkuasa untuk mengawasi pelaksanaan
peraturan tersebut.
Pemikiran pemisahan kekuasaan ini bukan selanjutnya
membatasi antara badan yang satu dan yang lainnya terpisah sama sekali dan
tidak mungkin terjalin hubungan. Maksud dari Montesquieu adalah mencegah satu
badan yang telah memegang suatu jenis kekuasaan memegang pula kekuasaan
lainnya. Dengan penafsiran demikian kiranya Montesquieu tidak menolak bilamana
suatu organ dapat melakukan pengawasan terhadap organ lainnya dalam
melaksanakan kekuasaannya.
Ajaran Trias
politica yang dikembangkan oleh Montesquieu, dalam praktek bernegara,
ditemukan perbedaan mengenai penafsirannya. Menurut Soehino penafsiran terhadap
ajaran Trias politica dalam beberapa negara adalah sebagai berikut :[16]
1.
Amerika Serikat, penafsiran ajaran
pemisahan kekuasaan Montesquieu dimengerti sebagai suatu ajaran pemisahan
kekuasaan mutlak atau murni, sehingga dalam praktek kenegaraan tidak
dimungkinkan hubungan antar badan pemegang kekuasaan. Tiap-tiap badan terpisah
satu sama lain dalam melaksanakan kekuasaannya dan tidak terdapat mekanisme
pertanggung jawaban tugas antar badan. Dari sini muncul apa yang disebut dengan
sistem presidensil;
2.
Inggris, menurut negarawan Inggris,
pemisahan kekuasaan yang dikehendaki oleh Montesquieu adalah pemisahan yang
menghendaki adanya hubungan timbale balik antar badan pemegang kekuasaan,
terutama antara badan eksekutif dan legislatif. Dari sini kemudian muncul apa
yang disebut dengan sistem parlementer;
3.
Swiss, negara ini memberikan
penafsiran yang berlainan lagi terhadap ajaran pemisahan kekuasaan Montesquieu
dimana ditafsirkan bahwa badan eksekutif itu hanya merupakan badan pelaksana
saja dari apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Sistem pemerintahan
yang diterapkan di Swiss ini disebut sistem referendum atau tepatnya sistem
badan pekerja.
Berdasarkan
hubungan antar organ atau badan pemegang kekuasaan, sebagaimana telah dibahas
di atas, didapatkan 3 macam sistem pemerintahan dalam negara, yaitu: negara
dengan sistem pemerintahan presidensil, parlementer dan sistem pemerintahan
referendum atau badan pekerja, maka bilamana dihubungkan dengan demokrasi
modern, akan didapatkan tipe dari demokrasi itu sendiri, yakni :[17]
1.
Demokrasi atau pemerintahan
perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang
murni atau tegas, atau sistem presidensil;
2.
Demokrasi atau pemerintahan
perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang
tetap memungkinkan terjalinnya hubungan timbale balik antar badan pemegang
kekuasaan. Antar badan pemegang kekuasaan dapat saling mempengaruhi, disebut
sistem parlementer;
3.
Demokrasi atau pemerintahan
perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan yang
menghendaki adanya kontrol atau pengawasan langsung oleh rakyat, disebut sistem
referendum.
DAFTAR
PUSTAKA
Aidul Fitriciada Azhari. 2005. Menemukan
Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum
Tatanegara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Miriam Budiardjo. 2007. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soehino. 2000. Ilmu Negara.
Yogyakarta: Liberty.
S. Toto Pandoyo. 1992. Ulasan
Terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Sistem Politik dan
Perkembangan Kehidupan Demokrasi. Yogyakarta: Liberty.
[1] Lihat S. Toto Pandoyo. 1992. Ulasan Terhadap Beberapa
Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan
Demokrasi. Yogyakarta: Liberty. Hal 6.
[2] Lihat Mahfud MD.
2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal 19.
[3] Ibid.
[4] Op.cit. hal 46.
[5] Op.cit. hal 48.
[6] Lihat Miriam
Budiardjo. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Hal 53-60.
[7] Ibid. Hal 54.
[8] Ibid. Hal 56.
[9] Lihat Walton H. Hamilton dalam Jimly
Asshiddiqie. 2005. Hukum Tatanegara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Konstitusi Press. Hal
16.
[10] Ibid. Hal 20.
[11] Lihat Aidul
Fitriciada Azhari. 2005. Menemukan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyah
University Press. Hal
71.
[12] Op.cit. Miriam Budiarjo.
Hal 61.
[13] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid. Hal 242.
[17] Ibid. Hal 243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar